Di usia 20 tahun aku berprofesi sebagai mahasiswa sekaligus karyawan disebuah perusahaan cukup ternama di Batam khususnya di daerah Muka Kuning. Secara abstrak pastinya aku tinggal di daerah Muka Kuning tepatnya Rusunawa Wanita Bida Asri BP Batam.
Rusunawa ini merupakan sebuah apartement versi sederhana atau dormitory yang dibangun oleh BP Batam (lembaga bentukan pemerintah pusat berprofesi membangun serta mempercepat pembangunan Batam dan hanya ada di Kota Batam) dimana terbagi atas rusunawa pria, dan rusunawa wanita. Yang tempatnya sangat sangat nyaman, bersih, dan aman karena disana tidak dijaga oleh security ataupun petugas ronda keliling, melainkan dijaga langsung oleh ditpam sehingga tidak sembarang orang bisa masuk area itu. Selain itu terdapat juga rusunawa keluarga dan rusunawa jamsostek (lain kali akan aku bahas detailnya). Dimana warga yang tinggal disana 99% merupakan karyawan perusahaan.
Ketika akan menempatinya saja banyak persyaratan administrasi yang harus dipenuhi, perjanjian, identitas perusahaan, penahanan fc KTP serta identitas lainnya. Warga yang tinggal disana (rusunawa wanita) ± 1000 kepala.
Pra-pemilu semua terasa datar. Tidak ada pendataan, tidak ada sosialisasi, tidak ada pemberitahuan kepada kami baik dari pihak pemerintah (kelurahan), pihak rusunawa, ataupun penyelenggara pemilu (KPU). Aku pribadi merasa aman saja karena identitasku secara lengkap sudah ter-record pada pihak pengelola rusunawa.
Tanpa adanya sosialisasi atau pemberitahuan kami merasa buta administrasi dan merasa aman. Memang sulit untuk mensosialisasikan ini dengan lingkungan yang pekerja. Sebenarnya identitas kami sudah masuk dalam draft pengelola, sehingga tidak perlu capek mendatangi kami secara satu persatu.
Ketika pemilu tiba, merasa warga Indonesia aku ingin menggunakan hak warga negara untuk memilih, apalagi ini merupakan pemilihan perdana.
Dirusunawa wanita sudah disiapkan tps, aku tidak perlu jauh melangkahkan kaki serta merasakan terik matahari. Cukup turun ke lantai 1, tps sudah menanti.
Dengan penuh semangat dan bermodalkan e-ktp aku memberanikan diri mendatangi tps. Ternyata namaku tidak tercantum disana, hanya 100 kepala yang tercantum dari 1000 kepala yang tinggal disana.
Saat datang, warga rusunawa wanita sedang berdemo dan beradu argumen dengan petugas karena tidak diperbolehkan mencoblos.
1 kepala sangat berharga, apalagi ini sampai 90% tidak bisa menggunakan hak pilihnya.
Saat ditanya, justru petugas tps mempersilahkan kami untuk pulang kampung dulu jika ingin mencoblos. Apakah ini sebuah jawaban yang benar dari sebuah solusi?
Saat ditanya kembali, beliau berkata bahwa datanya awalnya ada lengkap karena problem jadi hilang. Apakah ini sebuah bentuk tanggung jawab? Apakah yang seperti ini layak menjadi sebuah panitia?
Saat dimintai kepastian, beliau berkata bahwa akan menghubungi kelurahan, kemudian ketua kpu. Terus menjawab seperti secara random itu tidak disertai action.
Ketika mendekati pukul 13.00 beliau justru berbicara bahwa pukul 13.00 pemungutan suara ditutup. Dan tega menutupnya padahal kami menunggu disana dari setengah 12 disertai dengan berdemo.
Komentar
Posting Komentar